Caleg Pohon

23/01/2009 10:03

DARI ribuan calon anggota legislatif (caleg) yang kini sedang berjuang mengampanyekan diri agar terpilih menjadi salah seorang wakil rakyat, barangkali tak semuanya bobrok. Yang baik mungkin juga banyak. Namun, masalahnya, tak banyak warga yang tahu.Padahal, seperti yang kita tahu,  dalam politik, persepsi adalah realita.

Tak heran, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeliminasi aturan nomor jadi berdasar nomor urut terkecil, beberapa waktu lalu, sejumlah baliho, spanduk, dan poster aneka ukuran kembali marak bertebaran di sejumlah sudut kota. Mulai di pagar- pagar bangunan di pinggir jalan, tiang-tiang lampu penerang, kios rokok, kaca angkutan kota, hingga di pohon-pohon pelindung kota. Semua isinya tentu hanya yang baik-baik. Semua pesan mengusung kemuliaan dan harapan perubahan.

Tentu saja, ada beragam alasan kenapa para caleg memilih model kampanye yang seperti ini. Selain murah, cara ini sangat mudah. Tapi, dibanding yang lain, justru inilah cara yang paling efektif untuk sekadar bisa dikenal.

Terbukti, hanya dalam kurun sebulan, sejumlah wajah yang awalnya asing mendadak terasa akrab karena selalu saja terlihat ke mana pun kita pergi. Dalam kacamata demokrasi, ini sangat positif. Paling tidak, kita menjadi tahu siapa yang harus kita pilih.

Masalah kemudian muncul karena kenal wajah dan nama saja ternyata tak selamanya berkorelasi positif dengan pilihan. Bahkan di beberapa kasus, kenal justru menghambat lantaran apa yang dikenal warga bukan hal yang baik-baik, melainkan sebaliknya.

Terkait hal ini, sejumlah caleg pun lantas memilih cara berbeda dalam mengampanyekan diri. Beberapa memilih mengampanyekan diri melalui media massa dengan alasan lebih elegan. Ada juga yang meniru Barrack Obama, memanfaatkan internet dan memajang diri di sejumlah situs, tak terkecuali facebook.

Tapi, sama dengan model "kampanye pohon", "kampanye tiang listrik", dan model "kampanye angkot" yang murah, meriah, tapi efektif, model kampanye di media massa termasuk internet adalah juga tak berarti apa pun selama kiprah nyata dari mereka yang mengampanyekan diri tak terpublikasikan dengan baik. Bagaimanapun, menjual harapan saja kini sudah tak cukup. Terlebih setelah sejumlah anggota dewan justru merusak sendiri citra mereka dengan terlibat masalah hukum, ramai-ramai studi banding di penghujung tahun, atau meributkan dana aspirasi seperti terjadi di salah satu kabupaten di Jawa Barat beberapa tahun lalu.

Pemulihan kepercayaan memang menjadi jauh lebih sulit jika persepsi sudah telanjur negatif. Perlu amunisi kampanye yang lebih kreatif dari sekadar memajang poster di pohon atau wajah manis di situs facebook. Sebab, tanpa amunisi kampanye yang lebih kreatif, memajang poster di pohon dan di facebook hanya akan membuat mereka dikenal tak lebih  sebagai "caleg pohon" dan "caleg facebook" yang pasti tak positif bagi pendongkrakan suara. Padahal, sekali lagi, dalam politik persepsi adalah realita.

Karena itu tak peduli setulus apa pun niat para caleg terkait cita-citanya, mereka akan terlempar jika cara kampanyenya masih begitu-begitu saja. Bukankah setiap caleg nantinya akan mewakili beragam kepentingan massa yang pendukungnya? Tapi, bagaimana bisa jika untuk kampanye saja tak cukup cerdas hingga menempel poster di pohon masih dijadikan pilihan. (Arief Permadi, Wartawan Tribun Jabar)

Search site